Pendakian Gunung Raung via Bondowoso (Part 1)
Sebelumnya aku akan memperkenalkan tim kami terlebih
dahulu, Gak Nekat Gak Berangkat namanya, terinspirasi dari film the nekat
traveler yang di mainkan oleh Maudy Ayunda di tahun 2014. Jadi modal utama kami
adalah nekat juga tidak lupa duwit yang tebal pastinya. Oya kami membentuk tim
berawal dari pendakian ke ranukumbolo di akhir tahun 2018. Tentu sudah tidak
asing lagi mendengar nama ranukumbolo, danau cantik yang dikenal dengan
surganya mahameru hingga saat ini. Awalnya kami hanya memiliki grup whatsapp
bernama Ranukumbolo 29-30 waktu itu, grup whatsapp sengaja di buat agar tidak
ada miscommunication untuk persiapan ke ranukumbolo. Setelah pendakian
ranukumbolo usai, grup whatsapp masih aktif seperti biasa hingga pada akhirnya
nama grup di ganti menjadi Gak Nekat Gak Berangkat. Seiring berjalannya
waktu, tim kami berencana ingin mendaki gunung raung, gunung tertinggi ketiga
di Jawa Timur setelah Gunung Semeru dan Gunung Arjuno, serta memiliki kaldera
kering terbesar kedua di Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara
Barat. Gunung Raung juga dijuluki sebagai jalur ter ekstem se Jawa.Untuk sampai
di Gunung Raung terdapat dua jalur yaitu via kalibaru banyuwangi dan
sumberwringin bondowoso, namun untuk jalur sumberwringin bondowoso masih banyak
yang belum tahu, mungkin karena kalah populer oleh jalur kalibaru banyuwangi.
Dan kami lebih memilih lewat jalur sumberwringin bondowoso, karena level
ekstremnya tidak seberapa di banding lewat jalur kalibaru banyuwangi, pun lebih
hemat budget pastinya karena di jalur ini tidak perlu menyewa guide untuk bisa
sampai di puncak. Oya lupa, aku akan perkenalkan juga anggota dari tim kami; ada
Rizki yang biasanya jadi leader saat tracking, Utami yang biasanya jadi emak di
tim cewek, Mbak Ima dan Mbak Ilhamiyah yang biasanya di panggil Bunda selalu
membawakan kami seperangkat obat-obatan, Mbak Trya yang biasanya mengayomi, Joe
sang pemilik rental alat pendakian, Rudi yang suka mendokumentasikan perjalanan,
Atika si kecil yang kuatnya tidak perlu di ragukan lagi, Andika si indigo yang
biasanya bilang “awas hati-hati di persimpangan depan baca solawat”, Lukman si
baik yang gak banyak ngomong tapi sigap, Ahmad yang celotehnya bikin rame plus
jadi sweeper di tim kami dan terakhir adalah aku, pendaki pemula yang bercita-cita
menjadi seorang penulis, Rica namanya haha..
Awalnya aku sempet ragu ikut pendakian ke gunung
raung, karena waktu itu aku masih menjalankan suatu kegiatan dimana tangan dan
otakku harus bekerja sama untuk menciptakan suatu paragraf yang indah dengan bertujuan
agar bapak dosen mampu memahami maksud hati tulusku, ya skrispi namanya. Kebetulan
waktu itu masih menjalankan ritual bab 1 yaitu introduction atau pendahuluan
atau bisa disebut dengan ta’arufan haha. Aku dan si Atika adalah teman sejawat
di fakultas yang sama bahkan satu kelas. Setelah kami pertimbangkan beberapa
hal untuk ikut pendakian gunung raung, alhasil Aku dan Atika fix akan ikut
yeeay. Teman-teman yang lain banyak yang bilang “skripsi kok masih mau daki”
“hati-hati sedang skripsian lo” “musim hujan gini masih mau daki?” “yakin mau
daki?” tidak sedikit yang bilang kalau skripsi banyak godaannya apalagi waktu
itu lagi musim hujan, meski mereka bilang begitu, tapi tetap aku tidak goyah. Aku
mbatin aja sih segala sesuatu itu datang dari Tuhan dah gitu aja. Setelah fix
akan ikut pendakian gunung raung, langkah selanjutnya adalah izin ke orang tua.
Waktu itu masih H minus 10 hari, aku sedikit ragu mau izin ke bapak dan ibu
karena sudah pengalaman waktu mau ke ranukumbolo, di omelin dan di ceramahin
ber jam-jam, kalau tidak karena nama Atika yang aku bawa, sudah pasti gak akan
dibolehin mendaki, padahal waktu itu Atika tidak ikut pendakian ke Ranukumbolo
hihi. Alhasil aku memutuskan untuk tidak izin ke orang tua (jangan di tiru ya).
Sebenarnya sedikit takut kalau tidak izin, takutnya terjadi hal yang tidak di
inginkan, tapi aku berfikir positif aja waktu itu, sederhananya pasrah sama
Tuhan. Sedang si Atika memberanikan diri untuk izin ke orang tuanya, tapi bukan
izin yang di dapat, ibunya malah bilang “kalau berangkat, tidak usah minta uang
lagi!”. Aku yang di ceritain gitu auto ketawa pun sedikit kasian, tapi pada
akhirnya Atika tetap akan berangkat, nah kembali lagi ke nama tim kami, kalau
gak nekat ya gak berangkat hihi…
Selanjutnya adalah pemanasan, karena modal mendaki
itu bukan hanya uang tapi mental dan fisik juga perlu di siapkan. Akhirnya Aku
dan Atika memutuskan untuk lari pagi di alun-alun, dan waktu itu masih H minus
6 hari pendakian. Biasanya kami berlari mulai dari 3 sampai 5 putaran setiap
harinya, ya walaupun lebih banyak istirahatnya ketimbang larinya, kalau tidak
karena mendaki mana mau di suruh lari pagi haha. Oya perihal pemanasan untuk
mendaki sebenarnya bukan hanya lari saja, bisa dengan bersepeda di tanjakan,
push up, naik turun tangga dll.
Waktu pun bergeser mendekati hari pendakian, grup
whatsapp sudah ramai perihal barang-barang yang wajib untuk di bawa, seperti jaket,
sarung tangan, kaos kaki, senter, tisu basah, sleeping bag, pakaian ganti, alat
mandi, handuk, matras, logistik (makanan ringan dan minuman), jas hujan dll.
Perihal set cooking dan tenda di serahkan kepada yang berwajib si Ahmad,
Rizki dan Joe wkwkwk. Karena aku dan Atika belum mempunyai beberapa alat
pendakian, maka kami lebih memilih untuk menyewa di tempat rental. Berhubung
berangkatnya malam, Aku dan Atika memutuskan untuk menyewa di pagi hari, karena
harga sewa di hitung per hari. Kami memutuskan hanya menyewa carrier (tas
gunung), sleeping bag dan matras, selebihnya seperti jas hujan dan
logistik beli di indomaret. Oya untuk jas hujan aku rekomendasikan pakai
plastik, karena kalau pakai jas hujan biasa ketika berjalan sedikit terasa
berat (sudah pengalaman paska di ranukumbolo), dan biasanya
di indomaret sudah tersedia, di samping murah dan ringan juga tidak memakan
banyak tempat.
Notif di hp kerap berbunyi, teman-teman pada riweuh
di grup, sedang aku masih asik packing. Sesuai kesepakatan, beberapa dari kami
yang tinggal di Jember berkumpul di rumahnya Lukman, tidak jauh dari kost ku,
kurang lebih memerlukan waktu 10 menit naik motor. Sampai pada jarum pendek jam
bergeser ke angka 6, hujan turun dengan derasnya. Sambil menunggu hujan redah,
aku dan Atika memanfaatkan waktu untuk mengisi perut terlebih dahulu. Dan alhamdlillah
hujan pun redah di jam 19.30 WIB, pertanda kami di izinkan untuk mendaki hehe.
Lalu Aku dan Atika segera meluncur ke rumah Lukman, disana sudah ada Ahmad yang
sedang packing. Sambil menunggu si Rizki dan Utami, kami mengobrol perihal tiket
dan basecamp. Kata si Ahmad kami tidak langsung mendaki di malam itu, tapi kami
menginap semalam di basecamp terlebih dahulu, dan kami akan memulai pendakian di
esok hari. Tidak lama Rizki, Utami dan satu teman mereka Andika yang juga ikut
pendakian pun datang, jarum pendek jam berada tepat di angka 10. Kami ber tujuh
langsung meluncur ke basecamp gunung raung di bondowoso, teman-teman yang dari
arah banyuwangi pun sedang dalam perjalanan menuju basecamp. Untuk sampai di
basecamp, kurang lebih ditempuh selama 2 jam. Alun-alun bondowoso telah
berlalu, meski gerimis kami tetap melaju semakin kencang, hingga pukul 00.30
kami tiba di basecamp, disana sudah ada Mbak Ima, Mbak Ilhamiyah, Mbak Trya,
Joe dan Rudi. Teman-teman menyambut dengan antusias, wajar saja terakhir ketemu
waktu itu akhir tahun 2018 di ranukumbolo. Kami langsung meletakkan carrier dan
badan di lantai, berleha-leha sejenak sambil menyeruput kopi. Kami pun briefing
pada malam itu juga membentuk lingkaran bersama salah satu guide disana Mas
Faesol namanya. Dia menyampaikan perihal angkutan yang akan mengantarkan kami
ke pos 1. Ada 3 opsi untuk tiba di pos 1 (pondok motor). Opsi pertama adalah
ojek dengan biaya Rp.50.000 per orang. Opsi kedua adalah jalan kaki yang
memerlukan waktu kurang lebih 3 jam. Dan opsi terakhir menggunakan truk dengan
biaya Rp500.000 (minimal 15-20 orang). Mas Faesol menyarankan kami untuk naik
truk, dan kebetulan saat itu ada 2 rombongan selain kami yang juga akan mendaki
gunung raung, jadi mereka bisa di ajak iuran. Akhirnya Ahmad yang merundingkan
dengan rombongan lain, dan mereka pun dengan senang hati mau di ajak iuran,
sesuai kesepakatan akhirnya kami naik truk.
Malam semakin larut, udara semakin dingin dan kantuk
pun semakin menjadi. Aku dan teman-teman memutuskan untuk istirahat sebelum mendaki
di esok hari, jarum pendek jam tepat berada di angka 2.
Keesokan harinya..
Pukul 04.30 kami bangkit dari tidur yang cukup
nyenyak meski beralas lantai. Kami bergegas mandi dan sholat subuh bergantian.
Airnya pun cukup dingin seperti air es, tapi bagaimanapun kami memaksakan diri
untuk mandi. Di basecamp ini sudah terfasilitasi, mulai dari penginapan, kamar
mandi, musholla, tempat parkir dll. Setelah selesai semuanya kami diminta untuk
mengisi buku tamu dan membayar tiket dengan harga Rp. 15.000 per orang yang di
pandu oleh Tummy, salah satu anggota grup whatsapp yang kenal dekat dengan
guide disana, tetapi dia tidak ikut dalam pendakian kali ini. Waktu itu cuaca
cukup mendung hingga hujan pun akhirnya turun cukup deras, tapi Alhamdulillah
tidak berlangsung lama. Sambil menunggu truk tiba, Ahmad dan Joe pergi membeli
nasi bungkus untuk sarapan. Sambil sedikit berfoto, tak lama mereka pun datang,
kami melingkar dan langsung melahapnya bersama dan minum air kran dengan gelas
bergantian.
Setelah sarapan, beberapa teman-teman yang cowok
langsung menata barang-barang dan carrier ke dalam truk. Semua carrier dan
barang-barang tertata di dalam truk bagian depan, sedang kami bergantian
menaiki truk dan berada di bagian belakang, tapi ada beberapa teman-teman cowok
duduk di atas kepala truk. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, truk
pun langsung meluncur ke pos 1 (pondok motor). Perjalanan menuju pos 1 sungguh
menegangkan, sebab melewati jalan bebatuan, curam dan licin akibat hujan. Kami
di dalam truk saling berteriak dan menyebut asma Allah, karena posisi truk
miring tidak bisa jalan malah mundur, pak sopir trus menghidupkan gas hingga
roda belakang hanya berputar digenangan air yang cukup dalam, akhirnya beberapa
guide yang ikut mengantarkan segera turun dan mendorong truk yang kami tumpangi,
dan itu kerap terjadi selama di perjalanan. Hingga pada akhirnya truk berjalan seperti
semula, tapi tetap dalam posisi miring.
“Awas dahan!” teman-teman yang duduk di atas kepala
truk memberi aba-aba untuk menundukkan kepala, seketika kami menundukkan kepala
semua. Tidak hanya satu, dua, tiga kali kami begitu, hingga kami merasakan makan daun ketika dahan
pohon tidak sengaja melintas. Dengan kepanikan yang luar biasa, kami juga
sedikit tertawa akibat dahan pohon. Tak hanya itu, ketika truk berhenti
mendadak, yang awalnya kami semua pada berdiri, seketika kami jatuh bersamaan,
ada yang ketindihan, pun ada juga yang saling terbentur kepalanya, dan itu juga
kerap terjadi haha. Tak lama kemudian akhirnya tiba di pos 1 dengan selamat. Kami
pun bergegas turun, sedangkan beberapa
teman-teman cowok membantu menurunkan barang-barang dan carrier. Setelah
carrier dan barang-barang sudah di tangan masing-masing, kami berkumpul sesuai
rombongan, rombongan yang lain memutuskan untuk mendaki terlebih dahulu, sedang
kami masih sedikit berfoto. Sebelum pendakian dimulai kami melingkar untuk
berdoa bersama yang dipimpin oleh Tummy waktu itu. Dalam segala aktivitas
apapun, berdoa sebelum kaki melangkah itu penting, sebab disitu kita meminta
perlindungan kepada Tuhan untuk di hindari dari segala mara bahaya dan hal yang
tidak di inginkan. Oya aku lupa, alangkah lebih baik sebelum berjalan agar
siap-siap pembalut di pundak, sedikit jorok sih tapi demi ketahanan pundak
memikul carrier yang beratnya entah berapa kilo, saran itu aku dapati dari si
Ahmad paska pendakian ke Ranukumbolo.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar