Pendakian Gunung Raung via Bondowowso (Part 2)
Cuaca pagi itu cukup mendukung, terik mengibaskan
cahayanya pada kulit dan sedikit berbau tanah akibat hujan deras tadi pagi.
“gak nekaaatttt, gak berangkaaattt” begitulah yel
kami sebelum memulai perjalanan.
Perasaanku waktu itu campur aduk, senang, bahagia,
cemas, takut, jadi satu.
Pendakian pun dimulai, Rizki berada paling depan,
selain dia leader di tim kami, ini adalah pendakian keduanya ke gunung raung,
jadi sedikit hafal dengan jalur yang harus dilewati. Track yang cukup sempit
membuat kami harus berjalan satu per satu, oya disini kami semua ber dua belas,
cowok enam orang dan cewek juga enam orang. Kami berjalan melewati kebun kopi
milik warga dan hutan yang lembab, dengan jalur yang sedikit nanjak dan
bebatuan. Kami cukup berhati-hati, sebab di jalur ini terdapat banyak
persimpangan jalan. Dengan teliti kami cermati petunjuk arah berupa tali rafia
atau chat merah yang sengaja di gambar di pepohonan. Sambil nyanyi-nyanyi gak
jelas, kami berjalan dengan santai, tidak pernah ketinggalan kata-kata bucin
yang selalu dilontarkan si Ahmad membuat kami tertawa terbahak.
Dengan sesederhana ini kami bisa tertawa dan sedikit
menghilangkan rasa lelah akibat beban carrier di punggung. Kami sudah seperti
keluarga, tidak ada gengsi yang menyelimuti. Bahkan si Joe sempat bilang “kalau
gak kuat bilang ya, jangan gengsi”, kami pun juga tidak segan untuk istirahat
saat salah satu dari kami ada yang merasa kelelahan.
Ditengah perjalanan pun kerap kali bertemu dengan
rombongan lain yang satu truk dengan kami, dan dari situlah teman semakin
banyak. Selama aku dikenalin dengan dunia pendakian, aku rasa mereka memang
punya jiwa sosial yang tinggi, itulah mengapa tidak jarang pendaki satu dengan
pendaki lain sudah kenal, apalagi kalau pernah mendaki di gunung yang sama,
namanya saja sehobi, kalau dapet jodoh sih bonus, katanya, hahaaa.
Setelah beberapa kilo kami berjalan, kaki dan pundak
juga sudah mulai terasa sakitnya, akhirnya kami disuguhi oleh ilalang setinggi dada,
kami berhenti sejenak dan sedikit berfoto disana. Aku sempat mbatin “ini kalo
jatuh gimana ya?” sebab jalur yang di lewati cukup sempit dan di samping kiri
terdapat jurang yang cukup dalam.
Kemudian kami kembali berjalan menyusuri ilalang
yang jaraknya kurang lebih 50 meter. Si Rudi dan Andika diam-diam
mendokumentasikan perjalanan kami, ketika kami tau mereka sedang stay dengan kameranya dan terlihat
sedang mengambil video atau foto, spontan saja kami siap dengan senyum khas
masing-masing haha.
Pos 2 (pondok sumur) sudah terlihat, kami bergegas
mempercepat langkah. Hutan semakin hijau dan lebat, jalur yang landai juga
tertutupi oleh semak belukar yang masih rimbun. Hingga akhirnya kami memutuskan
untuk istirahat dan memasak mie instan. Kami mencari tempat yang nyaman, tapi
tidak ada sedikitpun celah untuk beristirahat, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat
di tengah jalan dengan berbaris memanjang. Kami mengeluarkan beberapa logistik,
seperti mie gelas dan sosis. Kami memasak secara bergantian, karena kami hanya
membawa 5 kompor. Ketika kami sedang asik mengobrol dan makan, tetiba rombongan
lain akan lewat. Karena kami menutpi jalur yang semestinya dilewati para
pendaki, alhasil mereka melewati semak-semak di sebelah nya ehee mon maap. Oya
perihal air, kami memang membawa cukup banyak, sebab perjalanan menuju gunung
ini tidak ada sumber air sama sekali, aku saranin sih untuk menaruh satu atau
dua botol di setiap pos, disamping mengurangi beban carrier, juga agar tidak
kehabisan air saat turun nanti. Tidak terasa jarum pendek jam mendekati angka
11, kami segera mengemasi semuanya untuk melanjutkan perjalanan ke pos
selanjutnya. Harapan kami saat itu tidak ada selain “please jangan hujan”,
karena cuaca waktu itu sedikit mendung. Setelah hampir mendekati pos 3 (pondok
tonyok), kami di sambut oleh gerimis, hingga pada akhirnya hujan lumayan deras,
seketika kami berteduh di bawah pohon untuk mengambil jas hujan yang ada di
dalam carrier. Oya untuk jas hujan aku rekomendasikan saat packing di taruh di
dalam carrier yang mudah untuk di ambil, misal di taruh paling atas, agar saat
hujan tiba-tiba datang kita tidak harus bongkar isi tas carrier. Kami semua
sudah mengenakan jas hujan plastik masing-masing dan melanjutkan perjalanan
yang cukup terjal, hujan semakin deras jalurpun semakin licin. Sepatu yang aku
pakai sama sekali tidak mendukung, kerap kali aku terpeleset sebab sepatu yang
aku pakai saat itu bukan sepatu hiking yang khusus dipakai untuk pendakian melainkan
sepatu sport yang biasa dipakai untuk olahraga, “kasian sepatuku” begitulah
yang sering aku ucapkan.
Tibalah kami di pos 3 atau biasa disebut dengan
pondok tonyok. Kami istirahat sebentar disana, kurang lebih sekitar 3 menit,
kemudian kami terus melanjutkan perjalanan sebab ketika istirahat terlalu lama
ujungnya pasti mager dan rasa lelah
untuk melanjutkan perjalanan semakin terasa. Alhamdulillah, akhirnya hujan pun
redah. Kami melepas jas hujan masing-masing dan dilipat kembali kemudian di
taruh di bagian luar tas carrier, sebab jas hujan yang baru saja dipakai
sedikit masih basah. Kami terus melanjutkan perjalanan langkah demi langkah.
Kerap kali aku bertanya pada Rizky yang berada di depan.
“Ris pos 4 masih jauh ya”
“satu jam an lagi kayaknya”
“Ya Allah” hanya itu yang bisa ku utarakan sambil
memperbaiki carrier yang mulai agak kendor talinya
Sedikit jengkel aja sih ya haha, tiap tanya masih jauh
apa nggak, jawabnya tinggal dikit lagi, tanyak lagi jawabnya dikit lagi,
padahal faktanya masih jauh cuuuyyy hmm.
Bukan hanya aku yang merintih kesakitan pada pundak,
teman-teman yang lain pun juga merasakan hal yang sama. Akhirnya aku ambil lagi
pembalut dari dalam tas kecil yang aku pakai di slempangkan ke depan,
kuselipkan pada pundak yang terasa sedikit perih, dan ya sedikit mengurangi
rasa sakit. Kami terus menyusuri jalan naik turun dan sempit, jalur pun sangat
licin akibat hujan deras yang baru saja redah. Satu persatu kami bergantian
melewati jalan yang terjal, berpegangan ranting pohon yang ada disamping kanan
kiri, berjalan sambil merunduk akibat ranting pohon yang menjalar di atas
kepala, benar-benar seperti memasuki goa. Setelah jalan terjal kami juga
melewati jalur yang curam dan memang benar-benar licin. “brak” suara seperti
orang yang sedang jatuh, ternyata Atika terpeleset saat sedang mencoba berjalan
dengan berpegangan ranting pohon disampingnya, “huu aku jatuh” merintih dengan
wajah yang membuat kami sedikit menahan tawa.
“kok bisa jatuh Tik?” beberapa dari kami bertanya
sambil membantunya berdiri.
“orang jalannya licin” sedikit mendengus menyalahkan
jalan yang licin
“lah bisa jalannya yang di salahkan yok” si Joe
menanggapi sambil tertawa
“yang lain hati-hati rek, kalau takut terpleset
lebih baik jalan jongkok” Rizky menghimbau.
Setelah Atika, kemudian giliranku, dan aku lebih
memilih apa yang Rizky katakan. Akhirnya aku jalan jongkok dengan sangat
hati-hati, tetapi dalam beberapa langkah aku sudah tidak kuat menahan beban
carrier yang semakin terasa beratnya, pada akhirnya aku lebih memilih prosotan
melewati jalur yang cukup licin, sudah tidak menghiraukan lagi celana takut
kotor atau apalah yang penting tidak jatuh begitulah pikirku saat itu. Tak ada
satupun dari kami yang pakaiannya bersih apalagi perihal sepatu sudah dipenuhi
oleh lumpur dan semakin terasa licin, jari-jari kaki juga sudah mulai terasa
perihnya, sangking sakitnya pundak pun seperti mati rasa haha.
Terlepas dari peristiwa prosotan yang seru di tengah
perjalanan, si Lukman mendapati pacet di tangannya, pacet adalah hewan penghisap
darah yang pada umumnya ditemukan di gunung-gunung yang hutannya masih rapat,
sebenarnya hewan ini tidak berbahaya hanya saja bekas gigitannya menyebabkan
gatal dan memungkinkan infeksi jika kita menggaruknya, ketika mendapati hewan
ini jangan memaksa untuk melepas gigitannya dengan menariknya karena bisa
merobek kulit dan mengakibatkan pendaharaan, lebih baik saat melakukan
pendakian mengenakan baju atau celana panjang agar terhindar dari gigitan pacet
yang datang tiba-tiba, dan waktu itu si Lukman langsung menariknya, tidak
terasa sakit atau perih katanya, tapi darah terus mengalir cukup lama, pada
akhirnya dibiarkan dan hanya di sumbat dengan dedaunan.
Jam pendek berada di angka 4, menandakan bahwa waktu
sudah sore, rencananya kami mendirikan tenda di pos 5 (pondok mayit) tapi
dilihat dari tenaga dan waktu sudah tidak memungkinkan sebab pos 4 saja masih
belum terlihat, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di tengah jalur yang
lumayan agak sempit lahannya. Kami mendirikan 3 tenda yang berukuran sedang, setelah
tenda didirikan, kami masak mie instan untuk mengisi perut yang sudah terasa
lapar sekali. Beberapa dari kami sengaja membawa lontong sebagai pengganti
nasi. Jarum pendek sudah berada di angka 7 pertanda waktu sudah malam, kami
bergegas memanjakan badan yang sudah terasa pegal semua dan sekaligus mengisi tenaga
untuk pendakian keesokan harinya. Aku berada di tenda nomor 2 bersama Atika,
mbak Ima, mbak Ilhamiyah, mbak Trya dan Ahmad. Kami tidak langsung terlelap
tidur, kami masih bercerita perihal rencana pendakian untuk esok hari. Ditengah-tengah
percakapan kami yang berbisik, di luar tenda suasananya sedikit ramai, padahal
tidak ada seorang pun atau rombongan lain selain kami. Tiba-tiba Andika si anak
indigo yang berada di tenda nomor 3 bilang “rek hati-hati didepan tendanya Joe
baca sholawat” dan waktu itu si Joe dan Lukman berada di tenda nomor 1. Aku dan
beberapa teman-teman sedikit ngomel didalam tenda
“itu ngapain sih Andika ngomong gitu?”
“gak tau!”
“kalau kelihatan harusnya gak gitu!” aku sebel sebab
parno sama hal begituan.
“sudah sudah”
Ahmad memanggil Joe dan Rizky yang berada di tenda
nomor 1 dan 3 untuk memastikan keadaan aman. Akhirnya kami pun perlahan
memejamkan mata dan tidur bersama sleeping bag yang menghangatkan tubuh dari
dinginnya hutan.
Ditengah malam kira-kira pukul 11 kami terkejut dan
terbangun, air masuk ke dalam tenda dan ternyata hujan. Hujannya semakin deras,
kami pun sudah tidak nyaman sekali berada di dalam tenda yang sudah dipenuhi
air. Fly sheet nya sedikit miring itulah yang mengakibatkan tenda kami
kemasukan air. Ahmad dan Joe segera keluar memperbaiki fly sheet, namun tetap
kami tidak bisa tidur seperti sebelumnya, kami hanya duduk-duduk di dalam tenda
sambil bercerita ria, hujan semakin deras dan semua tenda sudah benar-benar
banjir. Ditengah hutan yang gelap gulita, ditemani genangan air di dalam tenda
itu something in between, pikirku malam itu “gimana kalau mati disini ya?”
dasar pikirannya haha. Dan ini juga yang bikin aku tambah panik, tiba-tiba hp
ku berbunyi, memang sedikit ada signal di tempat itu, ternyata ibuku nelpon,
sumpah waktu itu aku takut mau angkat telpon dari ibu, kalaupun di angkat juga
bingung mau alasan apa, hingga pada akhirnya hp ku sudah tidak berbunyi lagi,
gupuh guys haha. Perasaan putus asa melanjutkan perjalanan menyelimuti semangat
kami, disamping kondisi Rizki si leader yang kurang sehat, tenaga juga
sepertinya sedikit kurang memungkinkan, akhirnya waktu itu kami memutuskan
untuk tidak melanjutkan perjalanan esok hari. Kami hanya bisa berdiam di dalam
tenda dengan lawakan-lawakan, tidak menghiraukan isi carrier yang sudah basah
kuyup, celana pun juga teles kebbes. Kami menunggu pagi terasa begitu lama,
akhirnya kami tidur dengan posisi duduk, ada juga yang berbaring meski basah di
atas matras, dengan pakaian yang basah kami mengenakan sleeping bag agar tidak kedinginan.
Mungkin karena badan memang sudah kecapekan, tidak menyadari meski keadaan
basah dan banjir, kami bisa terlelap tidur. Aku lihat hp, dan jam menunjukkan
angka 04.37 wib, kami semua bangun dari tidur, tenaga sudah sedikit terisi.
Cuacanya begitu cerah, kami sempat ragu ingin melanjutkan perjalanan menuju
puncak atau tidak.“eh gimana? lanjut gak?” Ahmad bertanya pada kami
Kami sedikit ragu, tapi jika turun jaraknya sudah
cukup jauh, juga sayang sekali kalau tidak sampai ke puncak. Hingga pada
akhirnya kami nekat tetap melanjutkan perjalanan. Bismillah…
Barang-barang seperti carrier dll sengaja ditinggal di
tenda, si Andika memutuskan tidak ikut ke puncak, ia memilih untuk menunggu di
dalam tenda, sayang sekali tidak tau dengan kaldera di atas puncak. Kami
melanjutkan perjalanan dengan membawa logistik dan beberapa botol air, beban
sudah ringan, kami antusias sekali agar bisa menginjakkan kaki di atas puncak.
Beberapa menit kemudian, kami melewati pos 4 (pondok demit), kami sengaja tidak
berhenti atau istirahat disana, kami terus melanjutkan perjalanan hingga
akhirnya sampai di pos 5 (pondok mayit) yang tidak jauh dari pos sebelumnya. Di
pos 5, kami memutuskan untuk sarapan, disamping lahannya luas juga terdapat
signal disana, langsung buat status di story dong ahahaa. Kami kembali memasak
mie dan sosis bergantian, kami menikmati makan yang sedikit hampir siang di
atas gunung dengan disuguhi kabut dan puncak gunung raung yang sudah terlihat. Setelah makan dengan sedikit berfoto, si Rudi
kembali lagi dengan kakinya yang kerap kali kram, beberapa dari kami membantu
mengoleskan minyak pada kakinya, setelah kondisinya sedikit memungkinkan untuk
berjalan, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Hutan yang kami lewati
terlihat seram sekali dengan kabut yang begitu tebal, kami tetap berdoa agar
diberi keselamatan hingga sampai tiba di rumah nanti. Harapan kami saat itu
“semoga di puncak tidak kabut”.
Akhirnya, kami sampai di pos terakhir sebelum batas
vegetasi, yaitu pos 6 (pondok angin), disana kami memutuskan untuk berdo’a dan
membaca sholawat nariyah 11 kali dengan melingkar. Situasi masih kabut tebal,
tapi kami tetap berfikir positif insyaAllah di atas puncak tidak kabut berkat
sholawat. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju batas vegetasi yang tidak
jauh dari pos 6. Hingga pada akhirnya kami sampai di batas vegetasi.
“ya Allah Alhamdulillah, akhirnya hampir sampai di
pucak” kami ucap syukur berkali-kali.
Di batas vegetasi kami mendapati in memoriam Deden
Hidayat, semoga almarhum diterima disisiNya, amiinn. Kami sedikit berfoto dan
mendokumentasikan keadaan sekitar sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak,
beberapa rombongan yang lain juga ada yang sudah sampai di puncak hingga ada
yang sudah turun. Kami terus melanjutkan perjalanan dengan melewati bebatuan
yang sedikit terlihat licin. Cuaca sangat dingin sekali, jika berhenti cukup
lama maka semakin terasa dinginnnya, kami terus berjalan pelan-pelan. Di tengah
perjalanan menuju puncak kami istirahat sebentar. Lagi-lagi kami terkejut
dengan salah satu anggota dari rombongan lain yang terkena hipotermia, mereka
berjalan menuju puncak hanya 3 orang, sedang yang lainnya sudah berada di atas
puncak. Kami membantu menyelamatkannya terlebih dahulu. Dari kejadian ini
terdapat pelajaran yang harus kita ketahui bahwa kekompakan tim itu sangat
penting, jadi selama kita melakukan perjalanan apalagi ke gunung please jaga
kekompakan sebab gunung bukanlah hal yang remeh. Oya aku jelaskan apa itu
hipotermia, hipotermia adalah kondisi dimana suhu bagian dalam tubuh di bawah
35 derajat, sedang tubuh manusia mampu mengatur suhu antara 36-37 derajat, ini
bisa di sebut dengan kehilangan panas dalam tubuh, atau bisa dibilang kedinginan
yang hebat. Dari kejadian hipotermia yang di alami si A (no name), mengharuskan
dia untuk tidak melajutkan perjalanan ke atas puncak, jika dilihat dari jarak
sudah tinggal beberapa meter lagi, tapi keselamatan jauh lebih penting dan
puncak hanya bonus. Terlepas dari hipotermia, kami terus melanjutkan
perjalanan, tetapi kabut masih saja tebal, kalau kabutnya sampai di puncak
otomatis zonk tidak bisa lihat kaldera terbesr ke dua di Indonesia dong. Kami
tetap berdoa agar terus diberi keselamatan hingga sampai pulang ke rumah. Rute
jalan yang kami lewati benar-benar menakutkan, kerap kali merangkak hingga
akhirnya kami melihat bendera merah putih di atas sana, tandanya puncak sudah
semakin dekat. Kami terus berjalan dengan sangat hati-hati (pelan-pelan tapi
pasti). Kami saling support satu sama
lain, saling membantu agar bisa sampai di atas puncak, apalagi si Rudi yang
kerap kali kakinya kram, berkat dukungan dan semangat teman-teman yang luar
biasa ini, insyaAllah akan menginjakkan kaki bersama-sama di atas puncak.
“tinggal dikit lagi, semangaattt” begitulah kata
Rizki yang sudah berada paling depan
Kami terus berjalan mengikuti langkah si Rizki.
Dan pada akhirnyaaaaaaaaaaaaaaa, kami sudah sampai
di atas puncak Gunung Raung dengan ketinggian 3332 meter dari permukaan laut,
Allah terimakasih telah diberi kesempatan menginjakkan kaki di atas gunung
raung ini. Kabut pun sama sekali tidak ada di atas puncak, aku yakin ini berkat
sholawat yang kami baca di pos 6 tadi. Sungguh Allah maha besar, kami melihat
kaldera sebesar itu dengan mata telanjang, sumpah takjub. Kami langsung ambil
dokumentasi di sana, tidak lupa bersama bendera kebanggan kita Merah Putih. Perasaan
haru dan bahagia bisa berada dekat dengan langit (tinggal mikir turunnya haha).
Btw gunung ini masih aktif, gak kebayang kalau tiba-tiba meletus haduuhhh liat
kaldera nya aja ngeri e. Uuuuu pengen muncaaakkkkkk!!!!
Yap begitulah cerita kami hingga sampai di puncak
Gunung Raung dengan ketinggian 3332 mdpl, perjuangannya bukan main kan, sama
seperti merjuangin dia, ehh ahahaha….
Jangan kangenn aku lagiiiii haha, semoga yang belum
sampai, bisa segera sampai, see you in the next story yaa:)
#photo dan video perjalanan ke Gunung Raung bisa
dilihat di instagram @gaknekatgakberangkat juga bisa dilihat di instagram akuh
@rica_wahyu19 hahaaa.
Komentar
Posting Komentar